Waktu memang
menyebalkan ya, sangat menyebalkan. Dia tidak berubah, tapi memaksa sesuatu
yang berjalan bersamanya untuk selalu berubah.
Pertengahan Maret 2020
menjadi titik awal dari semua ini, tentu saja. Sebelum itu, sebelum waktu itu,
hampir genap satu tahun aku menjadi orang yang senang dan menyenangkan dalam
keramaian. Setiap pagi tiba, selain suara sibuk kendaraan di daratan dan
burung-burung yang bertarung melawan angin di angkasa, senyum sapa teman-teman
menjadi hal yang sangat mengagumkan. Aku bisa berteriak, melucu, tanpa menutup
diri kepada siapapun. Sampai pada akhirnya Maret menjelang, datang bersama
kehidupan baru yang tidak biasa. Temu tatap yang normal, justru dinilai menjadi
sumber ajal. Manusia dipaksa terkurung dalam lingkup yang sangat sempit. Aku yang
pada dasarnya bukan orang supel, tak mampu leluasa menemukan teman, kecuali
bayanganku sendiri. Namun diawal, karena statusnya belum resmi saling
meninggalkan, aku masih bisa bersapa dan bercanda dengan teman sekolahku lewat
ruang maya yang sampai saat ini masih menjadi peruntungan. Bisa dibilang aku
belum kehilangan lingkungan untuk berbagi kata. Hingga pada akhirnya, setelah
dikatakan lulus, setelah harus bergabung dengan lingkungan baru. Keraguan menjadi
hantu paling menyeramkan. Seperti yang aku katakan tadi, aku bukan orang yang
supel. Aku tak mampu berteman. Ah, menyebalkan.
Di lingkungan baru itu,
aku menjadi orang asing yang selalu asing dan menganggap semua orang akan tetap
asing. Kepribadianku yang aku paksa berubah tiga tahun belakang, rusak semua,
kembali semula. Aku penyendiri lagi. Satu orang pun tak pernah kuanggap teman. Aku
memaksa susah sendiri, mencoba sendiri, yang pada akhirnya kalah sendiri. Aku menjadi
orang yang sukar dihubungi, senang melarikan diri, dan sangat gemar mengacuhkan
manusia yang bukan diri sendiri. Tentu saja orang kesal dan sangat kesal
padaku, aku tak enggan mengakui hal itu. Hal yang paling menyenangkan bagiku
pada saat itu adalah menyendiri. Sembunyi ketika dicari, menyusahkan orang
lain. Jujur saja, aku lebih memilih menyibukkan diri dengan mencari cara untuk
sembunyi. Hal itu berlangsung berangsur sampai berbulan-bulan. Sampai akhirnya,
ada satu momen yang mengajakku untuk keluar dari penjara kecilku. Dari momen
itulah kemudian aku menemukan teman terbaikku.
Teman terbaikku, tentu
saja. Orang-orang itu yang menarik aku keluar (meski separuh) dari
kesendirianku. Aku membuka diri, menyenangkan lagi. Namun tetap saja, situasi
waktu itu adalah situasi yang memaksa manusia menjadi tidak baik. Setelah bertemu
orang-orang itu, aku menjadi lebih sering meninggalkan kamar. Aku menjadi
kelelawar yang menguasai malam. Terbang selepas Isya dan bertengger lagi nanti
menjelang subuh. Aku tidak bohong, daripada orang-orang di lingkungan baruku,
aku lebih dekat dengan orang-orang ini. Malah orang-orang ini yang menjadi
tempat persembunyianku.
Banyak sekali hal yang
kita lewati, kita lakukan. Entah harus dinilai positif atau negatif. Dari sinilah
aku tahu apa yang dibicarakan para pria sampai tengah malam (alay, memang iya).
Mari kita bocorkan rahasiannya. Pada jam awal pertemuan kita akan membicarakan kegiatan
yang dilakukan sehari ini, meskipun sama-sama tak ada kegiatan sama sekali. Setelahnya,
sedikit lebih malam, gurauan tersasar pada hal yang sedang ramai di lingkungan
maya. Pembahasan itu cukup menyenangkan, karena tawa ria lebih mudah menjalar.
Namun entah angin yang lewat seperti apa, kita menjadi lebih serius. Berbicara
mengenai orang tua, masa depan dan cita-cita. Menjadi berkeluh kesah, saling
mengasihani, dan berbagi semangat. Kemudian karena yang terlalu serius memang
kadang membosankan, obrolan menjadi buntu. Hingga akhirnya peristiwa tantrum
menguasai ruang obrolan. Sebuah peristiwa pencairan suasana. Kita mulai memutar
musik, ditautkan dengan pengeras suara (tidak peduli mengganggu) dan melakukan
aksi tubuh gila tergantung bagaimana musiknya. Kalau yang diputar suara
instrumennya menggila kita akan menirukan aksi panggung musik tersebut. Menjelma
sebagai gitaris, basis, drumer sampai vokalis. Berteriak dan menaiki segala
yang ada. Kalau alunan musiknya santai, dan liriknya membawakan patah hati. Kita
akan beraksi menjadi orang paling tersakiti. Menempati pojok-pojok ruangan,
duduk menyikap lutut, menundukkan kepala, dan mengesalkannya lagi harus ada
suara isak yang dibuat-buat. Kalau alunannya lebih ke dangdut atau koplo, kita
akan otomotis berjoget (seringnya cosplay bapak-bapak yang doyan nyawer). Kalau
musiknya rock, funky, ska atau reggae maka kita akan berdansa sebagaimana
orang-orang di luar melakukannya. Biasannya ini yang paling rusuh dan membuat
ruangan menjadi sangat berantakan. Kemudian karena sudah terlanjur menari,
musik yang diputar menjadi backsound senam. Ya, senam di malam hari. Gila memang
orang-orang itu. Hingga pada akhirnya kita merasa lelah, dan merasa malu
sendiri. Membawa kita melakukan introspeksi karena sudah menggila seperti tak
punya Tuhan saja. Disitulah obrolan bernuansa religi di mulai. Daripada menanyakan
bagaimana solatmu, sejarah 25 Nabi lebih diminati. Bagaimana kalau kita menjadi
Ismail, kejahatan si Qabil, siapa yang mau jadi Kan’an, siapa yang mirip Iblis
dan siapa yang persis Dajjal. Karena Iblis dan Dajjal itulah suasana menjadi
horor. Mulai bertukar peristiwa gaib, beradu kejailan, sampai takut sendiri. Lagian
sudah tahu tengah malam, malah bahas horor, kocak. Ketakutan itu yang kemudian
menyulut kesunyian, orang-orang yang masih punya semangat mulai merubah arah
obrolan. Bahas bola, salah satu yang paling menyenangkan bagiku. Pembahasan ini
biasanya diikuti oleh yang paham saja, yang kurang paham akan mengganggu dengan
hal-hal lucu. Dari situlah pembahasan mulai berakhir. Ruangan mulai
ditinggalkan. Entah karena sudah disapa kantuk, mau menonton tim kesayangannya,
atau sudah ditelfon ibunya. Seperti itulah malam para pria, malamku dengan
orang-orang itu, tentu saja.
Terlalu banyak hal
menyenangkan ya, haha. Itulah yang membuatku enggan lepas dari mereka. Malam seperti
itu menjadi kebiasaan sampai bertahun. Aku sampai lupa dengan lingkungan
baruku, siapa saja orang-orangnya, apa saja kegiatannya. Sampai-sampai aku
merasa tidak benar-benar ada di lingkungan itu. Padahal 3 tahun lamanya.
Kehidupan di lingkungan
baru selesai. Aku seperti keluar dari tahanan. Lepas kendali, padahal harus
menentukan tujuan selanjutnya. Perjemuan dengan orang-orang itu tidak pernah
selesai, meski makin singkat. Sampai ada satu malam, dimana kita menjadi lebih
serius. Entah sedikit lebih dewasa atau tidak sama sekali. Tapi, kalimat yang
terlontar sewaktu itu adalah “nanti, pada akhirnya, kita punya tujuan
masing-masing. Kita akan saling meninggalkan.” Sebuah kalimat yang tanpa
kebohongan sama sekali. Karena benar saja, saat ini memang begitu situasinya. Ada
yang harus mencoba mimpinya di Kota Liwet, ada yang mau belajar di Kota Lumpia,
ada yang bertaruh nasib di Ibu Kota, dan ada yang tak pergi melanjutkan
rutinitasnya. Kita sedikit saling melupa, tak berkabar sebagaimana mestinya. Namun
rindu bukan hal aneh kalau tiba-tiba menggelora. Karena pada akhirnya, paling
tidak, tiap akhir pekan kita melakukan temu maya. Menyampaikan rindu, mengadu
cerita, dan memulai rencana.
Malam ini pun begitu. Lewat fitur Video Call Whatsapp kita mencoba
menumpahruahkan rindu. Bercerita, mendengarkan, menanggapi seperti biasanya. Tentu
saja bercanda dan saling menghina. Sampai berjam-jam kita membahas cinta dengan
cerita patah hatinya, capres dan cawapresnya, caleg dan kebodohannya, sepakbola
dan tim kesayangannya serta rencana dan realisasinya. Jujur saja senang sekali
berbagi kepala dengan mereka. Jauh dari rumah membuatku menyimpan banyak
cerita, sesekali memang ada keinginan yang menggebu untuk mengungkapkannya. Sepertinya
memang mereka saja yang mampu bercerita dan mendengarkan dengan waktu yang
lama. Mungkin karena menurutku mereka orang yang tepat, atau entahlah.
Aku tau orang-orang itu
memang menjadikan aku buruk waktu itu. Tapi, orang-orang itu juga yang
membuatku mau berdiri sampai hari ini. Mungkin aku akan menemukan teman dan
cinta yang luar biasa, namun tetap saja, orang-orang itu juga yang akan menjadi
tempat berpulang ceritaku tentang teman dan cinta luar biasa itu.
Mungkin ini menjadi
oversharing, makanya aku mencoba dengan bahasa yang kompleks untuk
menceritakannya. Aku sekadar ingin mengatakan orang-orang itu luar biasa juga.
Sekali lagi waktu tidak
akan pernah berubah, tapi waktu akan memaksa aku dan orang-orang itu untuk
berubah.
Semoga saja, waktu
membawa aku dan orang-orang itu pada hal baik dan luar biasa.
0 Komentar