Hai, kabar baik?
Biarkan aku
bercerita lagi, ya.
Belakangan ini
aku sedang sering melihat kembali hal-hal lama di ponselku, terutama di bagian
galeri. Kebetulan aku menemukan satu gambar yang menunjukkan satu bagian di
sebuah buku, di bagian halaman yang isinya bionarasi tentang diriku.
Hal itu
membuatku teringat, bagaimana aku memiliki hobi menulis tidak jelas seperti
ini. Sudah pasti, aku menyukainya sejak kecil. Menulis selalu menyenangkan
bagiku. Entah apapun alasannya.
Singkat cerita,
sebuah momen terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Waktu itu ada mata
pelajaran matematika, kebetulan bertepatan dengan hari Pahlawan juga. Dan kebetulannya
lagi, guruku mengajar dengan metode yang lumayan upgrade. Jadi, karena memang
momennya hari Pahlawan, guruku meminta kita untuk mengekspresikan siapa dan
seperti apa sosok Pahlawan di hidup kita masing-masing lewat media puisi,
pantun, atau yang lainnya. Aku yang memang gemar menulis dan sedang melemah
dalam hal matematika sangat tertantang untuk menonjolkan diri. Paling tidak aku
ingin menunjukkan kalau setiap orang punya senjatanya masing-masing. Aku tulislah
sebuah puisi, dan kemudian aku bacakan. Sontak guruku itu menunjukkan
ketertarikan atas apa yang aku tulis, sampai kemudian dia berbisik kepadaku,
aku masih ingat betul kalimatnya “Mas Pekik, nanti kita bicara di belakang.” Hari
itu aku benar-benar merasa dihargai.
Guruku itu tidak
berbohong karena kemudian kita benar-benar bicara. Dia memberi tawaran membuatkan
sebuah buku untukku, tidak sekadar menawarkan tapi juga berjanji. Syaratnya aku
harus mengumpulkan 50 puisiku. Awalnya aku sangat excited, sampai kucari semua
puisiku yang berserakan. Di postingan Instagram, postingan Facebook, buku-buku
catatan, riwayat Word, Google Drive, semuanya aku telusuri. Sayangnya memang
banyak puisi yang hilang entah kemana. Pada akhirnya itu yang membuatku sedikit
keberatan dengan syaratnya. Puisi yang berhasil aku kumpulkan tak genap 50
puisi. Sehingga kemudian aku memikirkan sebuah rencana semu, membuat ulang
puisi dengan lebih tertata dan bertema. Namun itu tadi, rencana semu.
Benar-benar
berhari-hari aku memikirkan soal tawaran buku itu. Ketika aku sedang sibuk
berpikir, aku malah dipercaya teman sekelasku untuk mewakili kelas di sebuah
class meeting dalam ajang lomba menulis esai. Ya sudah, aku iyakan. Beruntung,
karya esaiku masuk daftar tiga terbaik, meski nomer dua. Nah, pada saat
penyerahan juara, aku satu ruangan lagi dengan guruku itu. Kemudian tentu saja,
beliau mendekat dan bertanya “Mas Pekik sudah terkumpul berapa puisinya?” aku
sembari cemas menjawab “kurang lebih sudah 30 bu”, ya aku bohong. 15 saja tak
sampai, bagaimana bisa 30. Sebenarnya acara penyerahan hadiah itu menjadi
bagian dari rangkaian acara hari jadi sekolahku yang waktu pelaksanaannya
adalah di penghujung tahun ajaran. Satu kebetulan lagi, tahun ajaran yang akan
datang guruku itu sudah tidak mengajar di sekolahku lagi.
Waktu berselang,
akhirnya tahun ajaran baru tiba. Di upacara bendera hari pertama, guruku itu
berpamitan. Minggu pertama setelah itu, beliau mengirim pesan kepadaku,
menunjukkan iktikad baik atas janjinnya. Namun buruknya aku, aku tak merespon
sama sekali. Itulah sebenar-benarnya penyesalan dalam hidupku. Sebenar-benarnya
kesalahan yang aku lakukan. Sebenar-benarnya hal buruk yang aku kerjakan. Aku menarik
kesimpulan kalau penyebab semua ini adalah aku yang berlaku seenaknya pada
tulisanku. Hal itu sebenarnya yang melatarbelakangi aku membuat laman blog ini.
Aku tidak ingin lagi menelantarkan puisiku, aku tidak mau lagi kehilangan hasil
tulisanku. Mungkin saja di lain waktu ada kesempatan lagi, entah ada yang
memberi tawaran lagi, entah aku punya niat sendiri, entah aku ingin menerbitkan
sebuah buku saja khusus kubuatkan dan kuberikan untuk kamu. Yaelah kamu. Ya, barangkali
saja.
Namun sebenarnya
setelah semua itu, ada satu kesempatan untukku. Ini sudah tidak ada kaitannya
dengan guru matematika ku. Ada sebuah event kerjasama antara sekolahku dengan
sebuah universitas di Tegal. “menulis puisi tegalan”, itulah eventnya. Jadi sekolah
mencari sepuluh siswa untuk masing-masing membuat sepuluh puisi dengan bahasa
Tegal dan hasilnya akan dikumpulkan dalam sebuah buku antologi, kemudian si
penulis akan dilantik dan diberikan gelar sebagai “Sastrawan Tegalan”. Aku yang
tertarik kemudian mencalonkan diri, paling tidak menjadi sebuah permintaan maaf
atas kesempatan yang aku buang tempo hari. Akhirnya aku menyelesaikan 10 puisi
berbahasa Tegal (aku menyelesaiakannya semalam, btw). Bukunya terbit, dan entah
benar atau tidak aku menjadi seorang Sastrawan Tegalan.
Di awal tadi aku
menyebutkan mengenai gambar yang mengingatkan hobi menulisku ini. Gambar tentang
bionarasi yang aku tulis di buku ini. Sumpah, berantakan sekali. Aku terlalu
sering menuliskan namaku di satu halaman itu. Tidak elok sekali ketika aku baca
lagi. Ya sudahlah, paling tidak aku ingin sedikit membanggakan diriku, karena
tulisanku sudah pernah dicetak pada sebuah buku. Sedikit lebay, pamer dan ria. Tapi
ya peduli apa.
Begitulah tuan
dan puan ceritaku
Membosankan
tentu saja
Tapi, kabarku
juga baik.
0 Komentar