Tubuhnya lusuh berselimut debu
Wajahnya kusut bertopeng sendu
Hidupnya terserempet timah panas sang pemburu
Tatapannya gelap memandang langit
Gontai langkahnya layu penuh makna
Lengan penuh luka terpasang mengintai lesu
Giginya ompong satu sebab tertimpuk batu
Berjalan ia menyelinap reruntuhan
Jemarinya menggores tembok nan berdebu
Ditulis asma ibunda dan ayahanda
Dicoretkan isak yang tak pernah bersuara
Hidupnya tak lebih dari menderita
Disuap ke mulutnya rudal untuk makan
Disiram ke tubuhnya roket untuk mandi
Disikap penderitaan untuk menemani lelapnya
Kaki tanpa alas menapak mencari jalan
Bertanya pada batu dimana ibu bapaknya
Meminta puing-puing menemukan mimpinya
Mengangkat peluru menjadi sahabatnya
Akan dekat saatnya,
Langit yang dia tatap runtuh
Langkah layunya lumpuh
Lengan terlukanya patah
Meski giginya tumbuh
Mungkin ada waktunya,
Dia tertimbun reruntuhan
Tertumpuk tembok dan jadi debu
Menyandingkan asma dengan ayah dan ibunda
Sehingga isak benar-benar tak bersuara
Nanti akan terjadi,
Penderitaannya selesai
Rudal yang tersuap meledak
Roket yang tersiram meletus
Sehingga yang ia sikap adalah kematian
Esok akan datang,
Kaki tak beralas berhenti menapak
Batu menjadi kesepian
Puing-puing menjadi pemimpi
Dan peluru kehilangan sahabatnya
Lalu apa akan ada masanya?
Bocah menyeringai bahagia
Tubuh segar berbalut keceriaan
Wajah-wajah yang menyenangkan
Kehidupan tanpa pemburu dan penderitaan
Apa akan datang?
Apa kau tidak ketakutan kalau masa itu datang?
Apa kau benar-benar iba?
Apa kau tidak cemas kiamat segera tiba?
Apa kau yakin punya kemanusiaan?
Kalau masih kau anggap hari akhir berkaitan?
Apa kau paham sungguhan?
Tak alami bergerak justru sekadar ikut-ikutan?
Biarlah,
Aku tak berhak atas hatimu
Tapi,
Mereka berhak atas doamu
0 Komentar