Aku lebih memilih untuk dibenci angin hingga ia menerbangkan batinku. Aku lebih memihak untuk tak pernah disukai hujan hingga aku tak bisa bermain denganya. Bahkan aku lebih memilih untuk tak pernah digemari mentari hingga hidupku tak lebih dari temaram.

Dibadingkan aku dibenci oleh pikirku sendiri yang membatin bahwa diriku merupakan orang yang tak pernah disukai oleh ribuan pasang kaki yang berlalu lalang disekelilingku dan tak pernah luput dari sapa senyumku.

Mengapa harus otakku dari ribuan remaja di negeri ini yang harus tersumpal oleh 2 intisari berbeda. Mengapa harus telingaku yang terasuki 2 prakata tak pernah sama. Pahit sebenarnya, bahkan lidahku tertelan oleh kerongkonganku sendiri seirama dengan tunduknya mata sekepelaku yang perlahan seakan lupa semesta.

Acap kali aku berkata pada sahabatku ketika ia mendekat "apa kau mau berteman dengan orang yang dibenci masyarakat?" Sayangnya sahabatku bukan orang pintar untuk menjawab. 

Hingga ditengahnya temaram yang tak punya jelaga didaratan sebab hujan siang malam tak mengizinkan api untuk menyala, aku berteriak pada kesunyian tentang apa, siapa dan yang mana yang lebih benar untuk saya jelaskan. Pada akhirnya ramahnya gemintang membalaskan pekikanku yang bercampur kesal didalamnya. Dia berujar "jelaskan pada otakmu tentang apa yang dianut bapakmu dan apa yang dimaterikan guru agama sekolah umummu," Oleh cahaya bintang akhirnya aku menemukan jalan terang untuk menggerakkan lidahku yang sempat tertelan, dimana diriku kembali mengutak utik otakku yang sebentar waktu saat itu pernah terputus saluranya dengan hatiku yang penuh benci.

Dan inilah bahasa jiwaku yang hendak kembali masuk pada zona nyaman

"Mengapa waktu itu anda wahai yang terhormat, mengatakan bahwa wahabi adalah sekelompok islam aswaja palsu yang hanya menggunakan syi'ar agama sebagai jalan masuk untuk membahas kekhalifahan(kekuasaan) negeri ini tapi justru anda sendiri yang menindakkan apa yang anda katakan. Sungguh jarkoni. Anda saat itu terlalu bodoh untuk membodohi orang yang anda anggap bodoh. Hingga anda lengah dengan secuil kata yang anda katakan 'haha saya masuk banget kalo masalah politik' kali ini otakku bertindak defensif dan terlintas suatu kalimat tanya 'bukankah politik itu pada akhirnya menjuru pada kekuasaan?' Ya, benar! Dan untuk itu secepat terpaan angin otakku menangkap ringkasan deskriptif 'dengan begitu berarti yang anda figurkan sebagai penjelas definisi wahabi adalah anda sendiri. Pasalnya saat mengatakan seperihal itu anda sedang menyiarkan agama lewat majelis ilmu yang biasa menjadi tempat anda memanfaatkan ilmu anda, dan disitu pula anda membahas soal ingar bingar politik. Jadi betulkan itulah yang didefinisikan dengan kalimat ...menyiarkan agama sebagai jalan menyiarkan politik...? Hah? Betulkan ya?' Iyalah mana yang beda coba.' Munafik? Sejatinya diriku tak mau mengambil kalimat itu, tapi kalau meminta baik baik boleh lah ya? Singkat aja boleh! 

Ya, mengenai munafik. Saya dapat menarik kesimpulan atas khotbah jum'at yang tersampaikan oleh Khotibnya kemarin. Bahwa 'Orang munafik itu ada diantara kita yang bersama sholat berjama'ah, bersama menunaikan puasa ramadhan, mengaji bahkan menghafal al-Qur'an juga menurut saya yang menjadi insan alim pemilik ilmu para santri juga orang munafik.' " Sekedar itu kerja otakku. 

Dan yang itulah yang menguatkanku ketika acap kali aku berpikir "mengapa aku lahir dari rahim seorang ibu yang lelakinya adalah aktifis politik dengan olah pikir berbeda dibanding masyarakat lain sekampung kelahiranya." Ya itu memang bodoh, aku terlalu lemah! Sesampai hendak menyalahkan kedua orang tuaku.


Lalu? Mau sebut saya wahabi? Silahkan! Saya gak mau protes dan beradu lidah.

Tapi maaf jika 90% pemahaman ilmu agama anda sama dengan saya.

Jangan mengelak apabila saya juga menyebut anda wahabi.

Simply


Tahun ini memang tahun ganas panasnya politik. Tapi tolong jangan bawa sekantung plastik bara panas politik ketempat anda menyampaikan ilmu. Karena asal anda tahu, bara panas hanya membuat rusak kantung plastik yang anda singsing sehingga bara itu sendiri jatuh berserakan dijalanan, usai itu anda sibuk mencari dimana saja bara itu jatuh dan lupa kembali untuk menyampaikan ilmu.


Terimakasih dan maaf untuk beliau yang terhormat.


Untuk awal dan akhir, pembuka dan penutup saya lafadzkan

اسلامعليكم ورحمتالله وبركاته