Day 2
Hujan turun semalam mengunci pintu kamarku, membuatku terkurung begitu lama dalam ruangan yang sudah dipenuhi rasa kecewa. Gelapnya malam masuk ke kamarku, menyusul kesan gelap lainnya yang masuk memenuhi kepalaku. Aku sudah tak mengerti lagi apa isi otakku, apa yang mau dikatakan hatiku, apa yang mau aku lakukan. Semuanya kacau. Benar-benar kacau. Hanya tidur yang bisa membuatku tenang, dia menjelma narkotika paling aku giati. Aku mengurung diriku sampai pagi menjelang, meskipun selalu saja hantu berupa kekecewaan, penyesalan, dan rasa tidak percaya menggangguku dari tiap sudut kamar. Aku tidak tahu topeng mana yang bisa aku pakai untuk bisa keluar dari ruangan ini. Apalagi ibu masih sebegitu bencinya dengan tabiatku, begitupun kakakku, berbeda dengan bapak yang selalu mencoba mengajakku bicara. Itulah mengapa aku benci memberi rasa kecewa pada wanita, sebenci aku pada diriku sendiri. Itulah mengapa juga, aku tak mau bercerita penuh kepadamu, aku tak mau kau sama kecewanya.
Sekali lagi hidup bukanlah berlari atau bersembunyi, kita melakukannya maka sebentar lagi kita dipaksa berhenti. Aku pun begitu. Bersembunyi di kamarku tak menyelesaikan apapun. Penyesalan keluar dari kepalaku, menghadapku, memukul perutku. Aku lapar, tentu saja. Cuma makan separuh kotak nasi seharian, kemarin. Meski tak berani menatap mata ibu, dan malas menjawab pertanyaan bapak, akhirnya aku keluar kamar. Menyuapkan sarapan ke mulutku. Ternyata masih tak sedap juga rasanya, padahal aku sudah lapar luar biasa. Lagi dan lagi aku malah ditembak rasa kecewa, tubuhku sampai jatuh ke bawah meja makan. Berbaring, menyesal, meneteskan air mata. Meski saran bapak aku harus menjalani hidup seperti biasanya, dan aku melakukannya, tapi hidup masih tidak baik-baik saja. Meski aku dan ibu sudah saling berbalas kata, tapi isi kepalaku masih porakporanda. Kekacauan menempel di benakku sampai malam. Hari ini masih terlalu menyedihkan untuk dibilang baik-baik saja.
Sabtu, 12 November 2022
0 Komentar