Malam tak pernah usai dengan ceritanya. Monolog menjadi santap malam paling sedap untuk aku yang terlalu lama sendiri.
Cermin-cermin yang rapuh, kutembak mati dengan segenap argumentasi dimensi.
Di atas meja terserat sisa kebahagiaan masa kecilku, berlari, bernyanyi, dan enggan menyendiri.
Namun peradaban membawaku ke masa ini, bencana patah hati memaksaku harus dievakuasi.
Evaluasi mesti dicicil, untuk segera membasuh luka yang aku dapat dari rumah ke rumah.
Berita kehilangan menggema di gendang telinga, membekas, semembekas lagu Asmalibrasi.
Kekacauan yang mendera isi kepalaku, membuat gulita malam makin nyata.
Tidur menjadi obat tidur paling ampuh, dunia yang sesak keluh kesah bisa kulupakan, hingga nanti turun hujan di mimpi.
Segala patah hati aku biarkan berdistraksi dengan sekumpulan rasa dalam Riuh milik Feby Putri.
Malam memang tak pernah usai dengan ceritanya karena pun malam bukan waktu yang salah.
Biar malam bukan waktu yang salah, kebeneran tentangnya adalah singgahnya jiwa yang bersedih.
Memang tak segampang itu memahami waktu, memahami kamu.
Di kepalaku khayal beterbangan, segala harap berenang bebas, hingga menyisakan residu "nanti kita seperti ini"
Seperti ini yang bahagia, dan seperti itu yang tak kenal lara, padahal satu-satu luka hadir menyapa.
Malam seperti apa yang dimaksud bukan waktu yang salah?
Lewat malam yang dingin kala itu, aku terjebak rayuan perempuan gila, yang membuatku berpikir kalau dunia tak akan seindah kemarin.
Malam ini kuputar lagu favoritmu, yang sudah kukemas dalam satu playlist sejak malam itu.
Kau bawa aku yang terjebak dalam lingkungan sok keren, dalam ledakan drum dan lengkingan dawai ala rock n' roll, menuju notasi kekinian Ariana Grande.
Aku yang ingin memahamimu kemudian kau jebak untuk segera kembali pulang, padahal baru saja kuputar keajaiban milik Noel Gallagher bertajuk "If I Had a Gun"
Seperti yang ada sejak awal, malam memang tak pernah usai, begitupun pagi, siang, dan sorenya yang kau lengkapi dengan sweetest pie.
Begitulah waktu, dia abadi, berbeda dengan dayaku menahan lara, berbeda dengan jiwaku mengolah suka, mungkin berbeda dengan hatimu dalam memelihara dingin.
Nanti di ujung malam, ketika suhu udara lebih dingin dari atma dan tabiatmu, ketika bulan mampu melampaui manis senyummu, akan tersaji satu pertanyaan "how can i snooze and miss the moment?" Karena biar saja menyakitkan, ini cerita malam yang menyenangkan bukan? Menurutku kamu pasti mengiyakan.
Beberapa waktu sebelum malam akan menentukan bagaimana nanti bintang menyala.
Siang ini kamu bawakan creepin' setelah siang yang lalu aku mengaku pengecut lewat lantunan "Creep".
Begitulah cerita malam yang panjang kemudian segera selesai, setelah ini akupun akan selesai, aku tak akan lebih jauh dari konspirasi kematian Paul McCartney.
Biar Ari Lesmana saja yang membawaku ke malam yang lebih indah dari malam-malam sebelumnya.
Dan aku akan selalu sok keren dengan memutar musik tahun 60an, sampai nanti akhirnya aku bersamamu atau tidak sama sekali.
Nanti kalau aku merasa patah hati, aku akan berlayar di langit-langit kamarku disertai nada rangkaian Bruno Major.
Seperti penggalan lirik dari salah satu karya Radiohead, semua sudah dirancang sejak awal, sehingga "no alarm and no suprises."
1 Komentar
https://open.spotify.com/playlist/2gOBw6srpEh9oEqOFigPPw?si=b9cb15550e014e59
BalasHapus